Selasa, 10 Februari 2009

Kegagalan Proyek Transmigrasi di Pulau Air Raja Batam

16 Tahun Menyerah, Dikalahkan Ombak dan Hama Babi Dipersiapkan menjadi petani rumput laut, tapi ombak besar membuat tanaman mereka selalu busuk. Beralih ke petani sayur, hama babi tak terlawan. Kegagalan menghantam berulang kali.Bagaimana mereka bertahan? Siti Atmiah menyekakan lengan baju ke dahinya, mengurangi kucuran keringat yang membuat matanya memicing. Matahari pertengahan Desember lalu memancar terik, silau, membuat picingan mata perempuan 50 tahun itu kian rapat. Ia mendorong gerobak hijau, membawa kangkung, pucuk ubi, ubi kayu dan kacang panjang. Perlahan, ia terus menyusuri jalan semen di pulau itu, menjajakan sayur dari rumah-rumah. Sesekali ia berhenti untuk sejenak bernaung di kerindangan pohon yang sempat ia temui. Lalu ia pijat sendiri betisnya. Berjam-jam menjajakan sayuran membuat kakinya pegal. Apalagi, jalan yang ia lalui turun naik, berbukit-bukit. Dua kali seminggu ia mendatangi satu per satu rumah-rumah penduduk yang umumnya diatur di daerah transmigrasi, letaknya berpencar-pencar. Sekitar pukul 11.30 WIB, tak ada lagi rumah yang tak disinggahi Siti Atmiah. Ia sudah lewati semua rumah penduduk di sekitar Kantor Lurah Air Raja, juga rumah-rumah di sekitar SMAN 6 Air Raja dan rumah di sekitar pelantar yang menanjung ke laut kurang lebih 100 meter. Tak semua dagangannya laku. Beberapa ikat kangkung, pucuk ubi, dan kacang panjang masih menyesaki separo gerobaknya. Sayur yang dijual Atmiah bergantung pada pasokan dari luar pulau. Maka tak heran bila harganya pun tinggi. Seikat kangkung kira-kira setengah kilo harganya Rp3.000, sama dengan harga sekilo ketela rambat. Yang murah hanya pucuk ubi, Rp500 seikat. Hitung punya hitung, dari berjualan dua kali seminggu, menempuh dua kali tiga kilo meter naik turun jalan berbukit, Atmiah bisa mengantongi paling banyak Rp50 ribu. Bila tidak sedang laku seperti siang itu dia hanya dapat Rp30 ribu. Bagi Atmiah, berapapun hasilnya tetap ia syukuri, sebab bila sama sekali tidak ada pasokan sayur, maka sama sekali tak ada yang bisa ia lakukan.***Siti Atmiah adalah salah seorang yang masih bertahan di Air Raja dari 80 Kepala Keluarga (KK) yang datang sebagai transmigran, pada bulan Maret 1992, enam belas tahun lalu. “Saya dari Kendal,” katanya kepada Batam Pos yang menemuinya di depan kantor lurah siang itu. Sejak tiba di daerah transmigrasi itu, Atmiah seperti terperangkap. Ia tak bisa kemana-mana, pun untuk sekadar sesekali pulang ke kampung ke Jawa. ”Untuk makan saja susah, saya harus dagang sayuran. Ini pun bukan milik saya, milik warga yang punya warung. Saya diupah dari hasil jual sayuran ini,” ujar Siti Atmiah. Apapun ia lakukan untuk bertahan. Ditilik dari nasib Atmiah, ini adalah sebuah proyek tranmigrasi yang gagal. Atmiah dan kawan-kawan semula dipersiapkan untuk menjadi petani rumput laut. Pulau Air Raja, yang dikepung lautan semula dinilai cocok untuk tanaman tersebut. Semuanya meleset, salah perhitungan. Tapi keramahan tak lekang dari Atmiah, ia menawari singgah. Ia memetakan arah rumahnya. ”Lurus, nanti ada masjid belok kanan lalu lurus lagi. Paling ujung. Mampirlah,” ajaknya dan ia pun berlalu. Baju terusan bermotif bunga yang ia kenakan dibasahi keringat, membanjir di punggungnya.***Kelurahan Air Raja di Pulau Air Raja seperti terputus dari gemuruh industri di pusat Kota Batam. Luasnya kurang lebih lima kilo meter persegi. Nama Air Raja, konon, didapat karena pulau ini pernah disinggahi Raja Bintan bernama Datuk Munsang Arafah bersama permaisurinya Tengku Putri Siti Hawa, beserta panglima dan cucunya. Dalam perjalanan ke Johor Lama Malaysia, perahu lancang kuning yang membawa rombongan ini dihantam badai dan terdamparlah mereka di pulau ini. Singkat kata, bekal mereka habis, termasuk air. Merekapun berdoa, hingga menemukan mata air di pulau itu yang kini dikenal Perigi Air Raja. Pulau itu kemudian diberi nama Air Raja. Perigi tersebut jaraknya dari bibir pantai hanya sekitar 30 meter. Kisah tentang Raja Bintan itu tertulis di pintu gerbang Perigi Air Raja ini. Perigi Air Raja tersebut kini menjadi salah satu objek wisata sejarah di Batam. Perigi ini tidak pernah kering, meski musim kemarau. Sebelumnya, Air Raja masih masuk wilayah Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang Bintan), Provinsi Riau (sekarang Provinsi Kepulauan Riau). Sejak tahun 2000 Air Raja bergabung ke Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Satu-satunya akses ke pulau ini hanya lewat laut. Dari Tanjunguban ke Air Raja bisa makan waktu kurang lebih satu jam, kalau kita naik pompong nelayan. Bila dimulai dari Batam, perjalanan bisa ditempuh lewat Telagapunggur Bawah. Untuk sampai ke pelabuhan rakyat itu, orang harus melewati pelabuhan feri ramai yang melayani penumpang ke Tanjungpinang, dermaga ASDP, sampai ke pos TNI AL. Tak selalu ada pompong yang siap berangkat di sana. Jika ada pun mereka hanya mau angkut penumpang kalau disewa Rp65 ribu sekali jalan. Tak ada pelayaran reguler. Ini adalah bentuk isolasi lain atas Kelurahan Air Raja. Jika cuaca bersahabat, waktu tempuh lebih singkat, hanya setengah jam. Kalau musim angin utara atau ombak besar datang, perjalanan lebih berisiko, lebih boros waktu, dan sewa pompong pun naik jadi Rp100 ribu.***Tak jauh dari Perigi Air Raja dan pelantar menjorok ke laut. Dari pelantar itu tampak SMAN 6, berdiri di atas bukit. Sekolah ini dibangun Pemerintah Kota Batam. Sekarang ada 64 siswa belajar di sana, 23 siswa kelas tiga, 16 siswa kelas dua dan 25 siswa kelas satu. Pelajar sekolah ini ada anak warga transmigrasi, ada juga anak-anak Suku Laut dari sekitar Air Raja, yakni dari Pulau Abang, Pulau Subang Mas, Tanjung Piayu dan Pulau Akar. ”Ada lima siswa kami yang harus mengayuh sampan berjam-jam tiap hari untuk sampai ke sekolah ini,” ujar Kepala Sekolah SMAN 6 Air Raja Dwi Sulistiyani. Bangunan SMA ini tampak masih terawat, meski fasilitasnya masih terbatas. Komputer sebelas unit bantuan pemerintah pusat belum bisa dimanfaatkan, karena genset sekolah ini butuh bahan bakar solar, sementara kas sekolah seret. ”Perangkat internetnya ada tapi belum terkoneksi. Jadi anak-anak ketinggalan informasi,” kata Rofinuddin, guru Bahasa Inggris sekolah itu. Guru-guru di SMA ini rata-rata mengajar tiga mata pelajaran berbeda di setiap kelas. Bahkan, ada juga yang membantu mengajar di SMPN 15 tak jauh dari SMA ini, karena sekolah yang memiliki 60 siswa itu kekurangan guru. Sekitar 500 meter dari SMA ke arah barat, juga ada Sekolah Dasar 014. Air Raja saat ini berpenduduk 778 orang dengan 208 KK, 414 laki-laki dan 359 perempuan. Sebagian besar berusia produktif. Sebelumnya, ada 285 KK yang terdiri dari 200 warga bedol desa dari Lobam Laut dan 80 warga trasmigran dari Jawa – termasuk Atmiah - dan 5 KK warga tempatan. Di pulau ini juga ada fasilitas kesehatan berupa puskesmas pembantu dengan satu orang bidan. Pustu ini baru direhab dengan anggaran dari APBD Kota Batam tahun 2008. Roda pemerintahan digerakkan oleh Lurah dengan lima staf. Tiga sudah bersatus pegawai negeri, selebihnya honorer. Mereka bergaji pokok antara Rp692 ribu sampai Rp1.593.800. Fasilitas di kantor lurah ini umumnya rusak, hanya satu dari empat perangkat komputer dan printer yang berfungsi. ”Satu kamera digital untuk layani pembuatan KTP,” kata Talib Jafar, Sekretaris Kelurahan yang telah mengabdi sejak Januari 1979 dengan status honorer hingga saat ini.***Rumah Siti Atmiah baru dicapai setelah bertanya beberapa kali. Jalan semen ternyata tak sampai ke depan rumahnya. Proyek paving blok dari Pemko Batam yang menyambung jalan semenisasi pun mangkrak. Masih ada sekitar 500-an meter yang belum selesai dikerjakan. ”Pemborongnya lari, makanya jalannya tak selesai,” ujar Mahfud Hidayat, pelajar SD 014 kelas lima di pulau itu. Bocah laki-laki ini menunjuk jalan setapak menuju rumah Siti Atmiah. Kiri kanannya ditumbuhi semak belukar. Jarak rumah itu sekitar 500 meter dari jalan utama, tersembunyi oleh semak-belukar dan pohon tinggi. Rumah itu seperti dijaga oleh pohon kapuk randu. Pokok itu umurnya enam belas tahun, seumur proyek transmigrasi di pulau itu. Juga ada sebatang pohon pinang dan beberapa pohon nangka, mangga, jambu mete dan kelapa di kiri kananya. Atmiah juga punya kandang ayam berpagar kayu setinggi dua meter. Tapi tak tampak seekorpun ada ternak unggas itu di sana. Buru-buru dijual ketika wabah flu burung datang. Suami Siti Atmiah, Ibrory, sedang berbaring di atas meja kayu 3×4 meter di dalam rumahnya, tanpa alas apa-apa. Dari jauh terdengar suara radio menyiarkan membacakan berita sore. Ibrory sedang mendegarkan warta berita dari RRI Tanjungpinang. ”Biarpun susah, tapi tak boleh ketinggalan informasi,” ujar Ibrory, sambil mempersilahkan masuk. Ia langsung mengecilkan volume radio merek International yang hanya dilengkapi tombol tunner dan volume itu. Ibrory, 60 tahun sudah mulai beruban. Wajahnya penuh kerut ketuaan. Namun ia masih tampak sehat dan gesit. Saat itu, ia mengenakan baju kotak-kotak dan sarung. ”Berani juga wartawan Irak. Presiden Amerika George W Bush ditimpuki sepatu, saya baru dengar tadi beritanya,” ujar Ibrory sambil tertawa lepas. Ia mengaku sangat suka mendengar warta berita dari radio kesayangannya yang sudah lama ia miliki itu. Ia hafal jadwal siaran berita, kapan siaran dangdut dan acara lainnya di RRI Tanjungpinang. Ia pun bercerita, tentang rumah kayu yang ia dapat sebagai transmigran. Rumah beratap seng berkarat yang ia tempati bersama istri dan satu orang anaknya saat ini. ”Tapi sudah saya ubah pintunya. Aslinya di samping, saya pindahkan ke depan. Di belakang juga saya tambah,” katanya. Ada dua pasang jendela di bagian depan dan satu jendela di kiri kanan rumah. Kayu-kayu yang ia kenakan pada bagian dinding, pintu dan jendela adalah kayu bekas. Beberapa bagian sudah rapuh. Bahkan, antara papan satu dengan lainnya tidak bisa rapat sepenuhnya. ”Eh, jangan kena dinding, nanti bajumu kotor. Itu bukan cat, tapi oli bekas,” teriak pria yang akrab dipanggil Brory ini tiba-tiba. Dinding rumah itu sekitar 1,5 meter dari bawah diberi oli, selebihnya tetap warna asli kayu yang permukaanya agak kasar. ”Tak mampu beli cat, jadi saya kasi oli bekas. Sekalian untuk cegah rayap,” katanya sambil tertawa kecil.Di rumahnya, selain radio kecil tadi, juga ada televisi hitam putih 14 inci merek S.H.E, sebuah merek yang tak lazim. Tiga kamar rumah pasangan transmigran ini juga hanya terbuat dari triplek polos tanpa cat. ”Aslinya satu kamar tidur dan lantainya tanah, tapi saya guyur-guyur kasi semen,” kata Brory. Ada empat repro kaligrafi menghiasi dinding ruang tamu di rumah tak berplafon itu. Jika melihat ke atas, atap seng tidak hanya berkarat, tapi sudah bertabur lubang. ”Kalau malam banyak bintangnya. Siap-siap basah-basahan kalau hujan nanti malam,” kata Brory sambil menenggadah ke atap rumahnya yang bolong-bolong. Ia pun menceritakan riwayat 80 KK dari Jawa yang ikut program transmigrasi rumput laut ke Air Raja. Sebenarnya, kata Brory, ada 500 kepala keluarga yang akan mengikuti program transmigrasi itu. Umumnya berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Namun, pada saat akan berangkat, tepatnya Maret 1992, hanya 80 KK yang memastikan ikut. Mereka yang tak jadi ikut punya alasan beragam. Ada yang tak mau pisah dengan keluarga besar, ada juga ingin tetap berlebaran di kampung. ”Biasalah, saat itu bertepatan bulan puasa,” ujar Brory dengan dialek Jawa-nya yang kental.Mereka yang ikut program transmigrasi ke Air Raja ini umumnya bekerja sebagai buruh nelayan di daerah asal. Sebelum berangkat, petugas dari Departemen Transmigrasi sudah memberitahukan kalau mereka ditempatkan di Batam. ”Bilangnya begitu, Batam, bukan Air Raja,” kata Brory. Untuk mereka sudah disiapkan rumah dan lahan seluas 50 x 100 meter. Sebagai petani yang dipersiapkan bertanam rumput laut mereka juga sudah dibekali keterampilan membudidayakan komoditas tersebut. ”Katanya 40 hari panen, hasilnya biasa dapat jutaan. Jadi kami tertarik sekali,” kenang Brory. Mereka berangkat dengan kapal laut Era II. Sebanyak 80 KK transmigran itu berangkat bersama ratusan transmigran lainnya yang akan ditempatkan di Dumai, Riau. Kapal pun berlabuh di Dumai sebelum menuju Tanjungpinang. ”Kapalnya guede,” kenang Brory. Dalam perjalanan, sudah terbayang akan menghasilkan jutaan rupiah dari rumput laut. ”Apalagi saya suka kerja keras, saya yakin bisa dapat lebih banyak lagi,” ungkapnya. ”Pokoknya di kepala ini isinya hanya kata berhasil dan bisa kaya,” katanya lagi. Melihat rumah yang akan ditempati, 80 KK transmigran itu pun bersuka ria. Maklumlah, di kampung halamannya mereka tak memiliki rumah sendiri dan tak memiliki tanah sendiri. Sementara di Pulau Air Raja, tempat mereka yang baru, sudah tersedia 500 rumah dengan lahan masing-masing seluas 50 x 100 meter. ”Wah, senang kita dapat rumah dan lahan gratis,” tuturnya. Karena yang ikut transmigrasi hanya 80 KK asal Jawa, maka sisa rumah yang tersedia ditempati oleh masyarakat dari Lobam Laut, Bintan, yang mengikuti program bedol desa. Sehingga totalnya 280 KK, belum termasuk 5 KK warga tempatan, warga Melayu asli Air Raja. Untuk kebutuhan air, pemerintah membuatkan sumur sedalam 6-7 meter. Setiap tiga rumah ada satu sumur yang airnya cukup jernih. Air itulah yang dipergunakan untuk minum, mandi, cuci dan kakus . Sampai saat ini, sumur-sumur itu masih ada, meski sebagian besar sudah tertutupi semak belukar. Masing-masing rumah juga diberikan bak penampungan air. Jika kemarau tiba, warga di pulau ini bisa mendapatkan air bersih dari Perigi Air Raja, tak jauh dari dermaga pulau ini. Semua kebutuhan masyarakat transmigran, termasuk yang bedol desa dilengkapi. Untuk menggarap lahan diberikan peralatan cangkul, parang, dan alat-alat pertanian lainnya.Begitupun untuk kebutuhan budidaya rumput laut, semua transmigran diberi bekal rakit, tali dan bibit untuk tempat budidaya. Areal budidaya itu sekeliling Pulau Air Raja, khususnya di bagian timur hingga barat, tepatnya di kiri kanan pelantar Air Raja saat ini, sampai di depan pulau Menjaras. Satu bulan pertama, budidaya rumput laut gagal. Lokasi budidaya yang berombak ternyata menghambat pertumbuhan Disuruh Jadi Nelayan, Satu Pompong Dipakai Bergantian Tiga Keluarga Kegagalan pertama cocok tanam rumput laut itu membuat warga transmigran kapok. Tapi, Brory masih mencoba. Ia pindah ke lokasi lain yang tak jauh dari rumahnya, di bagian barat pulau itu. Tak jauh dari Pulau Menjaras. MUHAMMAD NUR, BATAM ”Ada teluk yang ombaknya kecil,” kata Brory. Usahanyaitu berhasil. Bahkan sempat panen tiga kali. Panen perdana menghasilkan uang Rp21 ribu, panen kedua Rp40 ribu dan panen ketiga Rp35 ribu. “Saat itu saya difoto-foto seperti selebritis bersama hasil rumput laut saya oleh petugas transmigrasi. Mereka memuji saya. Katanya saya memang pekerja keras,” kenang Brory. ”Saya minta fotonya saat itu, tapi tak boleh. Katanya untuk dilaporkan ke pusat. Bahkan, beberapa karung rumput laut dibawa ke Jakarta untuk laporan. Barangkali dilaporkan sukses,” kata Brory lagi. Namun, keberhasilan itu hanya sampai tiga kali panen, setelah itu tak ada lagi. Bahkan, Brory memilih berhenti, karena di lokasi yang baru itu, ia harus bersitegang dengan warga tempatan yang memiliki kelong, perangkap ikan yang didesain khusus. Bahkan, kadang-kandang nyaris bentrok fisik. “Kadang-kadang rakit rumput laut dihanyutkan, karena katanya mengganggu kelong mereka, jadi sedikit dapat ikan,” kenang Brory. “Saya bisa panen tiga kali karena saya keras kepala, meski dilarang saya tetap tanam di situ. Ditantang saya lawan,” katanya lagi. Usman, salah satu warga tempatan yang ditemui membenarkan hal itu. “Iya, saya sering ribut. Rumput laut mengganggu kelong. Ikan tak mau masuk kelong karena nelayan rumput laut tiap hari ada di situ. Ya, buang sampah yang nyangkut di rumput laut mereka, jadi ikan tak mau mendekat,’ tuturnya yang dibenarkan Baco, putranya. “Kami juga dikasi rakit dan bibit. Tapi tak cocok rumput laut di sini. Ombaknya besar. Apalagi kalau angin utara datang. Mana bisa berhasil,” ujar Usman lagi. Ia juga mengaku heran, Air Raja dijadikan sebagai wilayah transmigran rumput laut. Padahal, di sekeliling Pulau Air Raja terdapat banyak kelong milik warga tempatan dan warga dari pulau lain sekitar Air Raja. Keberadaan nelayan rumput laut itu, dianggap mengganggu dan mengurangi penghasilan pemilik kelong. “Saya dianggap petugas transmigrasi keras kepala. Saya sering dipanggil rapat. Tapi bagaimana lagi, kami hidup dari kelong. Rumput laut tak bisa menghasilkan di sini. Tempatnya tak cocok,” kata Usman lagi. Pasca panen tiga kali, tak ada kegiatan penanaman rumput laut. Petugas transmigrasi yang mendampingi mereka, akhirnya menawarkan pompong - sejenis perahu kecil yang diberi mesin Robin atau sejenis mesin parut kelapa yang diberi baling-baling - yang akan dipergunakan untuk mencari ikan. Sambil menunggu pompong yang dijanjikan datang, warga transmigran asal Jawa ini memilih untuk bertani, namun ada juga yang enggan karena tak memiliki keahlian selain nelayan. Bagi yang mau, bisa memanfaatkan lahan di sekitar rumahnya. Hasilnya pun lumayan menggembirakan. Namun, hanya sekitar empat tahun. Kesuburan tanah makin menurun. Setelah empat tahun, sudah sulit menanam sayuran, karena lapisan topsoil yang subur sudah habis terserap tanaman sebelumnya. Juga habis terbawa oleh aliran air hujan. Dan satu lagi yang sulit dilawan adalah babi. ”Atasnya berpasir, setelah itu bauksit. Cocoknya tanah di sini untuk buat batu bata saja,” kata Brory, setengah bercanda. Lama menunggu, janji pompong akhirnya dipenuhi juga. Tepatnya sekitar tahun 1995. Satu kendaraan kayu itu dijatah untuk tiga KK. Satu perahu dipakai bergantian. Ini sempat merebakkan protes. Warga transmigran ingin satu KK dapat satu pompong. ”Katanya tak ada anggarannya,” ujar Brory, menirukan pernyataan petugas transmigrasi, kala itu. Bantuan tahap satu hanya ada tiga pompong kecil ditambah satu pompong ukuran sedang yang berfungsi menampung hasil tangkapan nelayan transmigran ini. Tahap kedua ada enam, ditambah satu pompong ukuran lumayan besar dengan fungsi yang sama dengan pompong ukuran sedang tahap pertama. Namun, pompong pun akhirnya gagal total. Warga transmigran enggan melaut. Selain harus bergantian, hasil tangkapan juga menurun. Mereka kalah bersaing dengan nelayan dari daerah lain yang memiliki peralatan tangkap ikan yang lebih baik dan lebih berpengalaman di laut. Satu per satu transmigran asal Jawa akhirnya meninggalkan pulau itu. Ada yang kembali ke kampung halaman, lalu ikut transmigrasi lagi ke daerah lain. Ada juga yang ke Batam dan Tanjungpinang, mencari nafkah dengan mengojek atau jadi buruh bangunan. Hanya masyarakat yang bedol desa dari Lobam Laut yang banyak bertahan. Itupun sudah meninggalkan areal transmigran. Rumah dan lahan itu tinggal puing dan sudah tertutupi semak . Mereka memilih pindah ke pinggir laut atau pantai. Bahkan, tak sedikit juga yang kembali ke Lobam Laut, Tanjunguban, Bintan, kembali menjadi sebagai nelayan tradisional. “Kalau 80 KK dari Jawa, saat ini tersisa 26 KK, lainnya sudah pada keluar dari pulau ini.Tanahnya ada yang dijual murah, ada juga yang dibeli orang Singapura,” tutur Brory. “Dari 26 KK itu, kebanyakan jadi buruh nelayan. Mereka ikut nelayan yang punya kelong di beberapa pulau. Mereka tak sanggup beli pompong dan alat tangkap ikan sendiri. Ya, jadi buruh nelayan lagi. Sama ketika masih di Jawa,” ungkap Brory. Setelah rumput laut gagal, bertani gagal, pompong gagal, sempat ada beberapa kali bantuan untuk ternak kambing dan ayam kampung. Namun, lagi-lagi gagal. “Kalau ayam, saya sempat punya 80-an ekor, tapi sejak ada berita flu burung, saya jual semua, takut tak laku nantinya,” kata Brory. Sering juga ada bantuan dana, tapi banyak warga transmigran asal Jawa yang memanfaatkannya untuk pulang kampung atau modal untuk mencari kerja ke daerah lain. Bantuan tunai tidak banyak membantu mengangkat perekonomian masyarakat transmigran di Air Raja. “Saya jarang ngambil bantuan. Malah kadang-kadang saya tolak. Saya malu. Itukan uang negara hasil ngutang dari Bank Dunia. Begitu beritanya yang saya dengar,” kata Brory. “Yang kami butuhkan bukan bantuan langsung. Tapi bagaimana lahan kami ini bisa diolah lagi, bisa nanam sayur lagi, atau usaha lain yang bisa membantu ekonomi kami lebih baik,” katanya lagi.***Setelah empat tahun, sayuran sudah sulit tumbuh. Kalaupun bisa, butuh banyak pupuk. Sementara, pasokan pupuk ke warga di pulau itu sulit. Pupuk kandang, maupun pupuk anorganik sama saja mahalnya. Tidak sebanding dengan hasil panen.. “Urea saja bisa sampai Rp7.000 per kilo. Pupuk kandang satu karung ukuran sedang Rp20 ribu. Tambah ongkos angkut Rp10 ribu. Ya mampus lah. Tak bisa balik modal,” kata Brory. Yang bisa tumbuh hanyalah tanaman keras seperti jambu mete, nangka, rambutan, mangga dan tanaman tahunan lainnya. Akibatnya, setelah empat tahun menempati pulau itu, praktis transmigran tidak bisa menanam sayuran atau palawija lainnya. Untuk kebutuhan mereka sendiri pun sayuran didatangkan dari daerah Bintan melalui Tanjunguban. “Warga di sini belanja ke Tanjunguban, ada juga ke Batam,” kata Siti Atmiah, menimpali. “Tanaman apapun susah selamat. Siang kita tanam, malam dirusak babi. Bahkan, kelapapun susah nanamnya, habis dimakan babi hutan,” katanya. Selain menjadi buruh nelayan, warga transmigran asal Jawa di Pulau ini hanya mengandalkan hasil tanaman keras yang mereka tanam sejak pertama tinggal di pulau ini. Itupun hanya beberapa pokok kelapa dan nangka. Lide, 50, salah satu warga yang ikut bedol desa membenarkan, bahwa lahan di areal itu tak subur lagi. Tidak bisa lagi menamam palawija seperti kacang, jagung dan umbi-umbian. “Mau tanam kelapa tak bisa tumbuh lagi karena dimakan babi. Yang 20-an batang ini bisa selamat karena ditanam sebelum hama babi hutan banyak,” katanya. Ia juga mengaku sudah bosan tinggal di rumah transmigrasi yang sudah reyot itu. “Saya bertahan karena ada kebun ini sedikit. Tapi tak lama lagi saya mau pindah ke laut (pinggir pantai),” katanya.Bekas telapak kaki babi hutan tak terhitung di sekeliling rumahnya Lide. Terutama di bawah pohon kelapa. Begitu buahnya jatuh, langsung habis dimakan babi. “Kadang-kadang harus adu cepat dengan babi. Berebut buah kepala yang jatuh. Kalau babi duluan, habislah dimakan, gigit jarilah kami,” ujar pria berdarah Sulawesi Selatan ini.***Suasana malam di Pulau Air Raja tak ubahnya berada di hutan belantara yang gelap. Yang terdegar hanya suara babi hutan mencari makan di tepi jalan dan di sekitar rumah warga. Juga suara hewan malam lainnya. Jika keluar rumah, nyamuk dan Agas langsung menyerang. Di pulau ini memang ada genset. Namun, hanya menyala dari pukul 08.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Itupun kalau bahan bakarnya ada. Warga di pulau ini iuran swadaya untuk membeli bahan bakar solar. Masing-masing Rp3.500 per hari. Jika tak ada bahan bakar, warga menggunakan lampu teplok minyak tanah. “Gensetnya boros. Dari jam 6 malam sampai jam 10 malam, habis 40 liter solar. Harga satu liternya mahal, sampai Rp6.500. Makanya jam nyalanya dibatasi,” kata Talib Jafar.Tidak semua rumah yang terjangkau oleh genset di pulau ini. Ada beberapa rumah trasmigran yang tak diterangi cahaya lampu pijar. Antara lain, rumah Lide dan Brory. Lide menggunakan lampu teplok atau lampu minyak tanah yang ia buat dari kaleng bekas minuman ringan. Begitupun dengan rumah Brory. Malam hari hanya diterangi lampu minyak tanah yang terbuat dari kaleng minuman ringan. Satu dipasang di teras rumah, satu di masing-masing kamar dan satu lagi di dapur.Brory punya mesin genset kecil berbahan bakar bensin. Genset kecil itu mesinnya sama dengan mesin parut kelapa yang digunakan pedangan di sejumlah pasar tradisioal di Batam. Genset kecil ini hanya mampu memutar dinamo yang menghasilkan daya listrik kecil. Hanya bisa menghidupkan lima bola lampu ukuran 5 watt dan satu televisi hitam putih. Namun, genset kecil ini jarang dinyalakan. Hanya waktu tertentu saja. “Kalau ada siaran bola, baru dinyalakan. Boros bensin. Tiga jam bisa menghabiskan empat liter bensin. Satu liter di sini Rp7.000,” kata Istri Brory. Malam itu ketika wartawan koran ini numpang menginap, Brory berbaik hati menghidupkan genset kecilnya itu. Bunyi mesinnya turun naik, tak stabil. Hasilnya, bola lampu 5 watt di ruang tamunya kadang terang, kadang redup. “Seperti putri malam (kunang-kunang, red), matanya kedap kedip,” ujar Brory sambil mengedip-ngedipkan matanya lalu menunjuk bola lampu lima watt yang nyalanya kemerah-merahan. Ia mencoba menyalakan televisi. “Wah, centil kan suaranya?” tanyanya. “He he, banyak semutnya,” ujarnya lagi. Siaran yang tertangkap oleh TV lawas ini buram. Maklumlah, antenanya setinggi dua meter yang tiangnya terbuat dari ranting kayu yang ditegakkan dalam rumah. “Saya beli Rp40 ribu,” sebutnya sambil memutar antenanya supaya menghasilkan gambar yang jernih.***Brory sudah sepuluh tahun tak bekerja. Hanya istrinya yang jual sayuran orang lain. Hasilnya jauh dari cukup. ”Sudah 16 tahun kami tak pernah beli baju. Uang upah dagang sayur habis untuk kebutuhan sehari-hari. Baju yang kami pakai ini hasil pemberian orang. Untunglah banyak yang berbaik hati pada kami,” kata Brory dan istrinya. Bahkan, anak laki-lakinya, Bambang Joko (16) yang saat ini baru duduk di kelas 1 SMAN 6 Air Raja, bisa sekolah karena bantuan anak pertamanya yang kini bekerja sebagai pelayan toko di Batam. “Gajinya tidak sampai Rp700 ribu, karena baru tiga bulan kerja, katanya mau naik Rp900 ribu,” sebut Brory. “Selain itu. Saya juga kadang-kadang dikirimi uang dari anak saya yang dari istri sebelumnya (sudah cerai). Dia kerja sebagai pembantu rumah tangga di Batam, gajinya Rp300 ribu,” ujarnya lagi.Sebenarnya, pria asli Demak ini mengaku masih memiliki semangat untuk menggarap lahannya. Namun, kesuburan tanah yang makin menurun ditambah hama babi hutan yang terus mengganas, membuat ia dan transmigran lainnya tak berdaya. “Saya hanya nunggu anak saya yang SMA ini tamat. Setelah itu, kami pindah ke Kota Batam. Anak saya di sana mau sewa rumah. Mungkin di Batam saya dan istri bisa dagang kecil-kecilan. Daripada bertahan di sini, tak ada kerjaan dan tak ada perubahan. Hanya makan tidur. Hasil dagang sayur istri hanya cukup untuk sehari-hari. Malah kadang-kadang kurang. Capek juga karena memang dari awal tak sesuai yang dijanjikan,” katanya.***Tanah di Pulau Air Raja sebenarnya tak jauh beda dengan yang ada di Tembesi Sayur, Batam. Lalu kenapa petani di Tembesi Sayur berhasil? “Ini karena telek (pupuk kandang dari kotoran ayam). Kalau tak ada telek mana bisa subur, meski ada pupuk anorganik,” ujar Sukijan, salah satu petani di Tembesi Sayur. Staf Ahli Bupati Lingga Deddy Zulfriady Noor, yang juga mantan Kepala Balai Agrobisnis Otorita Batam mengaku terkejut ketika mengetahui ada transmigran di pulau tersebut. Pasalnya, tidak pernah terpublikasi ke publik. Ia tambah terkejut ketika dikatakan transmigran di sana adalah transmigran rumput laut. “Saya pernah riset sama teman-teman tahun 1987 di pulau itu dan sekitarnya. Saat itu saya masih di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Memang tidak cocok untuk rumput laut. Makanya saya terkejut kalau ada transmigran rumput laut di pulau itu. Apalagi luput dari perhatian pemeritah,” unjarnya. “Wah, itu sama saja penjajahan. Mengirim warga ke tempat yang tak cocok,” katanya lagi. Namun nasi sudah menjadi bubur, semua instansi terkait di Batam, kata Dedy, mesti memberikan perhatian pada nasib masyarakat taransmigran di sana. Jika transmigran masih semangat mengolah lahan setelah gagal di laut, harus ada upaya mengendalikan hama babi hutan. Namuan ia menilai, salah satu solusi tepat, memberikan keterampilan budidaya ayam petelur atau ayam potong pada masyarakat di sana. “Tapi harus ada bapak angkat yang memodali dan memberikan pembinaan,” kata Deddy. Jika ini bisa dilakukan, maka perlahan tapi pasti, masyarakat juga bisa mengolah lahan mereka. Karena, sudah ada akses pupuk kandang yang murah. “Kotoran ayam itu bisa digunakan untuk menyuburkan tanah, sehingga petani juga bisa memanfaatkan lahan kosong untuk bertani,” kata Deddy. Doktor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini yakin, jika hal ini diterapkan, bisa membantu ekonomi masyarakat transmigran di pulau itu. Apalagi pasar untuk telur ayam dan ayam potong serta sayuran, sangat dekat, yakni Kota Batam. Batam, kata Deddy, masih mengimpor telur dari Malaysia. Sayuran pun disuplai dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara. “Air Raja ke Batam kan cuma 30 menit,” katanya. Solusi lain, lahan di pulau itu ditanami tanaman keras seperti karet. Namun, lagi-lagi harus ada bapak angkat yang memodali dan membinanya. “Tapi kalau karet butuh waktu, menurut saya yang tepat jadi kawasan peternakan ayam petelur atau ayam potong,” sarannya. *** Catatan: Tulisan ini ditulis oleh M Nur, pernah dipublikasikan di Harian Pagi Batam Pos Edisi Minggu, 28 Desember 2008

Label: